Satu-satunya sufi wanita
yang paling sering disebut adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95-185 H /
713-801 M)
Masa Kelahiran Rabi’ah
al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah memiliki
nama lengkap Ummu al-Khair bin Isma’il al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir
di Basrah Iraqdiperkirakan pada tahun 95 H. Rabi’ah termasuk dalam suku
Atiq yang silsilahnya kembali pada nabi Nuh. Ia diberi nama Rabi’ah yang
berarti putri keempat karena orang tuanya telah memiliki tiga orang
putri sebelumnya.
Pada malam kelahirannya, sang
ayah merasa sangat sedih karena tidak mempunyai suatu apapun untuk
menghormati kehadiran putrinya yang baru itu. Bahkan minyak untuk
menyalakan lampu pun tidak ada. Malam itu sang ayah bermimpi kedatangan
Nabi Muhammad SAW dan mengatakan kepadanya agar jangan bersedih karena
putrinya kelak akan menjadi seorang yang agung dan mulia.
Masa Kecil Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah tumbuh dan berkembang
dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh
zuhud. Seperti anak-anak sebayanya Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara
wajar. Yang menonjol darinya ialah ia kelihatan cerdik dan lincah
daripada kawan-kawannya. Tampak juga dalam dirinya pancaraan sinar
ketakwaan dan ketaatan yang tiada dimiliki oleh teman-temannya. Ia juga
juga memiliki keistimewaan lain yaitu kekuatan daya ingatnya yang telah
dibuktikan dengan kemampuannyamenghafal al-Quran saat usianya 10 tahun.
Pendidikan yang didapatkan
Rabi’ah adalah pendidikan informal yang diberikan oleh ayahnya secara
langsung. Biasanya ia dibawa ke sebuah mushalla yang jauh dari hiruk
pikuk keramaian di pinggiran kotaBasrah. Di sinilah ayah Rabi’ah sering
melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan Sang Khalik. Di tempat
yang tenang dan tenteram tersebut akan mudah mencapai kekhusyukan dalam
beribadah dan bisa mengkonsentrasikan pemikiran pada keagungan dan
kekuasaan Allah. Kondisi kehidupan keluarga Rabi’ah yang saleh dan zuhud
besar pengaruhnya bagi pendidikan putri kecil tersebut.
Masa Remaja
Rabi’ah al-Adawiyah
Masa remaja Rabi’ah dilalui tanpa kedua orang
tuanya, karena mereka telah meninggal dunia pada saat ia beranjak
dewasa. Hal itu menyebabkan kehidupan Rabi’ah dan kakak-kakaknya semakin
parah kondisinya sehingga memaksa mereka untuk meninggalkan gubuknya.
Rabi’ah dan semua saudaranya terpencar satu sama lain. Mereka berkelana
ke berbagai daerah untuk mencari penghidupan. Dalam pengembaraan ini,
Rabi’ah jatuh ke tangan perampok dan dijual sebagai hamba sahaya dengan
harga yang murah, yaitu sebesar 6 dirham.
Kehidupan dalam belenggu
perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah. Tuannya memperlakukannya
dengan sangat bengis dan tanpa perikemanusiaan. Tetapi Rabi’ah
menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat malam tetap dilakukannya
dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir, istighfar
merupakan senandung yang selalu didendangkannya.
Dan pada suatu malam, tuannya
mendengar rintihannya dan doanya. Hal ini sangat menyentuh hatinya
hingga akhirnya ia pun memerdekakannya. Setelah merdeka, kehidupan
Rabi’ah tetap lurus dalam jalan dan petunjuk AllahSWT. Dengan kebebasan
yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di masjid-masjid dan
tempat-tempat pengajian agama. Ia kemudian menjalani kehidupan sufi
dengan beribadah dan merenungi hakikat hidup. Tidak ada sesuatupun yang
memalingkan hidupnya dari mengingat Allah.
Masa
Dewasa Rabi’ah al-Adawiyah
Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufi telah
menjadi pilihannya. Rabi’ah menepati janjinya pada Allah untuk selalu
beribadah kepadaNya sampai menemui ajalnya. Ia selalu malakukan shalat
tahajjud sepanjang malam hingga fajar tiba. Rabi’ah tidak tergoda
kehidupan duniawi, hatinya hanya tertuju pada Allah, ia tenggelam dalam
kecintannya pada Allah SWT dan beramal demi keridlaanNya.
Rabi’ah telah menempuh jalan
kehidupannya sendiri dengan memilih hidup zuhud dan hanya beribadah
kepada Allah. Selama hidupnya ia tidak pernah menikah, walaupun ia
seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran lelaki
yang meminangnya. Pangkat, derajat, dan kekayaan tidak mampu memalingkan
cinta pada kekasihnya Allah SWT.
Akhir Hayat
Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah mencapai usia kurang lebih 90 tahun, bukan
semata-mata usia yang panjang, tapi merupakan waktu yang penuh berkah
hidup yang menyebar di sekelilingnya, suatu kehidupan yang menyebarkan
bau wangi yang semerbak ke daerah sekitarnya, bahkan sampai sekarang
hikmah dari ajaran-ajarannya masih dapat dirasakan.
Terdapat silang pendapat di
kalangan ahli sejarah tentang wafatnya Rabi’ah, baik mengenai tahun
maupun tempat penguburannya. Mayoritas ahli sejarahnya meyakini tahun
185 H sebagai tahun wafatnya, sedangkan tempat penguburannya, mayoritas
ahli sejarah mengatakan bahwa kota kelahirannya sebagai tempat
menguburkannya.
Referensi:
Javad Nurbakhsh, Wanita-Wanita
Sufi, (Bandung: Mizan,1995) hal. 26
M.
Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya, (Surabaya:
Risalah Gusti, 2000) hal. 3
Sururin, Rabi’ah
Al-Adawiyah Hubb Al-Illahi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002) hal. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar